BISNISNEWS.COM – UNSADA (Universitas Darma Persada) mengadakan Forum Group Discussion (FGD) tentang energi terbarukan, khususnya geothermal dan transisi energi
Kegiatan FGD berlangsung di kampus UNSADA, Jalan Taman Malaka Selatan, Jakarta, pada 20 Januari 2024.
Untuk diketahui, UNSADA didirikan pada 6 Juli 1986 oleh tentara pelajar dan pelajar Indonesia yang belajar di Jepang dan tergabung dalam organisasi Pehimpunan Alumni Jepang (Persada).
Persada memiliki Yayasan Melati-Sakura, dengan pimpinan Dr. (Hoc) Rachmat Gobel dan pembinanya Marsekal Madya TNI (Purn.) Prof. Dr. Ir. H. Ginandjar Kartasasmita, M.Eng
Diskusi mengenai energi terbarukan ini bekembang saat menjawab pertanyaan peserta.
Terutama mengenai peran BKPM yang kurang aktif dalam mengawal investasi asing yang terbentur dengan berbagai hambatan birokrasi.
Terutama birokrasi antar Kementerian maupun Pemda, isu tarif Perpres 112/2022 yang dianggap kurang menarik investor serta isu TKDN.
As Natio Lasman, dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Darma Persada yang juga duduk sebagai anggota Dewan Energi Nasional periode sekarang, mengatakan bahwa cadangan energi fosil terbatas jumlahnya.
Baca Juga:
Kebijakan AS dan Tiongkok Berdampak pada Ekonomi Nasional, Menteri Rosan Roeslani Ungkap Alasannya
BRI Luncurkan BRImo di Timor Leste, Perluas Inklusi Keuangan di Kawasan Asia Tenggara
Karenanya perlu dikelola dengan lebih baik dan mulai saat ini mempersiapkan pembangkitan energi dari energi terbarukan.
Termasuk energi kelautan yang membentang potesinya di Indonesia, sekaligus men-support tercapainya ketahanan dan kemandirian energi.
Hingga saat ini masih dibahas antar K/L formula Transisi Energi yang tepat sehingga dapat mencapai NZE.
Sekaligus memperhitungkan realisasi ketahanan energi, terutama pada saat cadangan energi fosil menjadi semakin menipis.
Baca Juga:
BI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 dan 2026, Berikut Sejumlah Indikator Ekonomi
Jelang HUT ke-129, BRI Gandeng Kuy Media Group Sukses Selenggarakan BRI Mini Soccer Media Clash
Harris Yahya, Direktur Panas Bumi, Ditjen EBTKE, KESDM menyebut bahwa pemerintah telah menerbitkan perpres 11/2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang ESDM pada Sub bidang EBT.
Untuk mendukung pemanfaatan EBT dalam bauran energi primer dan tercapainya penurunan emisi global perlu mengoptimalkan kewenangan koordinasi dan sinergis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
PLTP sebagai pembangkit EBT yang memiliki Capacity Factor paling ideal untuk memproduksi Green Hydrogen.
Fluida geotermal dapat dimanfaatkan juga pada proses liquefaction (penyimpanan).
Sehingga beritanya di dunia proses keseluruhan produksi hidrogen dari energi panas bumi dapat meningkatkan efisiensi sebesar 18%.
Saat ini semakin banyak pengusaha PLTS yang menawarkan harga listrik sekitar US 4~6 cent per kWh.
Dan apabila permintaan pengusaha PLTP tetap di harga listriknya dari US 16 cent per kWh, maka pengusahaan PLTP akan kalah mendapatkan bisnisnya dibandingkan pengusahaan PLTS.
Sedangkan Riki Ibrahim, dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Darma Persada, mantan dirut PT. GeoDipa Energi (Persero), periode 2016-2022, menjelaskan
Menurutnya, diperlukan upaya pendampingan/mengawal langsung secara konkrit/optimal oleh BKPM, terjun ke lapangan bersama Kementerian Teknis.
Agar hambatan birokrasi akibat ego sektoral dapat teratasi dan iklim investasi di Indonesia semakin kondusif.
Pemerintah terus memberikan insentip kepada geotermal, saat ini biaya eksplorasi sudah dilakukan oleh pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastuktur (Persero) (SMI).
Pendanaan lewat mini World Bank versi Indonesia itu, SMI juga berikan pinjaman dana eksplorasi kepada swasta yang dikenal namanya GREM.
Sebagai informasi bahwa harga listrik PLTP di California dan Nevada, US berkisar 4~9 cent per kWh dan bersaing dengan PLTS dalam pasar bebas listriknya.
Data Indonesia menunjukan, harga listrik PLTP yang beroperasi banyak berkisar US 7~9 cent per kWh dengan kenaikan sekitar 5% setiap tahunnya.
Bahkan di tahun sekitar 2018~20 ada PLTP yang dapat diturunkan harga listriknya dari sekitar US 12 cent per kWh diturunkan menjadi sekitar US 8 cent per kWh. Disisi lain biaya operasi PLTP itu rata-rata hanya berkisar US 1-3 cent per kWh.
Untuk TKDN, pemerintah melalui Kemenperin diharapkan segera menerbitkan regulasi untuk memberikan insentip selama 7 tahun bagi teknologi yang pabriknya dibangun di Indonesia, sehingga hilirisasi dapat segera dan banyak di Indonesia.
Diharapkan Indonesia dapat Penambahan Kapasitas PLTP sesuai RUPTL PT PLN (Persero) pada 2021-2030 dengan total PLTP berada sekitar 3.355 MW, Riki mengakhiri presentasinya.***