Oleh: Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
HARIANINVESTOR.COM – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia menganut paham lebih besar pasak dari pada tiang.
Ajaran yang sudah pasti tidak akan diajarkan sejak jaman nenek moyang kita.
Ajaran ini juga saya rasa tidak akan diajarkan kepada anak dan istri para pejabat Kementerian keuangan dan anggota DPR.
Baca Juga:
Sambut Nataru, BRI Pastikan Kehandalan Super Apps BRImo dan Optimalkan Layanan 721 Ribu E-Channel
Shadenlouth Siap Hibur Pengunjung Cafe dan Tempat Nongkrong dengan Sajian Live Music
Investor akan Terus Mengawasi Respons Kebijakan Pemerintah: Siap Mendukung atau Siap Menghukum
Mungkin bagi sebagian besar awam ajaran lebih besar pasak daripada tiang ini masih dianggap ajaran setan karena mengajarkan orang hidup boros.
Menjauhnya APBN dari ideologi negara bukan hanya sebatas pandangan lebih besar pasak dari pada tiang.
Namun banyak sekali indikator yang menunjukkan bahwa APBN semakin tidak sejalan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.
Yang merupakan manifestasi dari semangat kemerdekaan, kedalaulatan, kemandirian dan keadilan sosial.
Baca Juga:
Transaksi Tanpa Kartu Kini Lebih Mudah, BRI dan Artajasa Luncurkan Fitur Cardless Withdrawal
Perjuangan kemerdekaan terkait APBN adalah perjuangan untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan dan segala bentuk ketergantungan.
Usaha ini dijalankan melalui penguasaan secara mutlak kekayaan alam oleh negara dan digunakan sebesar besar kemakmuran rakyat.
Manifestasinya adalah dalam pasal 33 UUD 1945 sebagai antiitesa terhadap penjajahan yang menempatkan kekayaan alam Indonesia menjadi motifasi paling utama.
Di masa penjajahan kekayaan alam hasil bumi Indonesia berupa rempah rempah, perkebunan, hasil hutan, mineral dan juga minyak bumi.
Baca Juga:
Lewat 1 Juta AgenBRILink Saat Natal dan Tahun Baru, BRI Optimalkan Layanan Keuangan
Dugaan Penyalahgunaan Dana Corporate Social Responsibility, KPK Geledah Kantor Bank Indonesia
Semuanya diangkut dan diperdagangkan oleh penjajah dan hasilnya dimiliki sepenuhnya oleh penjajah.
Adapun yang dibayarkan kepada raja, pemilik lahan dan pekerja pribumi adalah berupa sewa tanah, juga royalti dan upah rendah.
Adapun kekayaan alam yang diangkut tersebut dan nilainya tidak pernah diketahui dan sepenuhnya menjadi milik penjajah.
Dalam perkembangannya Pembangunan infrastrukur wilayah jajahan dalam menopang aktifitas eksploitasi sumber daya alam dibiayai dengan pajak.
Dan berbagai pungutan kepada usaha-usaha yang dijalankan oleh masyarakat di negara jajahan.
Penerapan pajak merupakan salah satu babak penting dalam kolonialisme dan imperialisme di Indonesia karena banyak menimbulkan perlawanan dari masyarakat.
Pembentukan APBN negara jajahan menggunakan strategi memungut pajak ditambah dengan kerja paksa bagi pembangunan infrastruktur bagi kelancaran ekploitasi sumber daya alam tersebut.
Jadi dapat dkatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah antitesa terhadap segala sifat, watak dan bentuk-bentuk penjajahan yang secara spesifik terkait sumber daya alam, pajak, sewa dan upah.
Perwujudan dari semua itu secara kuat adalah melalui APBN.
Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Proklamasi kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945 beserta penjelasan UUD 1945
Pendapatan SDA Minim
Padahal sumber daya alam Indonesia yang diangkut ke pasar sangat besar dan menjadi penyumbang utama bagi perdagangan global.
Indonesia adalah eksportir Batubara terbesar di dunia, penghasil sawit terbesar di dunia, penghasil nikel terbesar di dunia.
Penghasil berbagai macam komoditas perdagangan utama terbesar di dunia, namun sumbangan terhadap APBN sangat minim.
Penerimaan sumber daya alam seluruh tambang di luar minyak dan gas dalam enam tahun terakhir sangat kecil.
Tahun 2019 sebesar Rp. 33,8 triliun, tahun 2020 sebesar Rp. 28,1 triliun, tahun 2021 sebesar Rp. 52,9 triliun, tahun 2022 Rp. 120,2 triliun, tahun 2023 sebesar Rp.119,7 triliun dan tahun 2024 diperkirakan hanya Rp. 92,9 triliun (sumber nota keuangan 2024).
Mengapa dibilang kecil? Karena rata-rata penerimaan sumber daya alam ini setiap tahun hanya Rp. 76,6 triliun.
Atau jika dibandingkan dengan nilai ekspor Batubara setahun saja pada harga saat ini yang nilainya mencapai Rp 1.568 triliun.
Padahal ekspor sumber daya alam non migas ini bukan hanya Batubara, ada nikel, ada boksit, ada timah, ada emas, dan lain sebagainya.
Dalam mengisi pundi-pundi APBN, negara mengambil strategi utama penjajah yakni penerapan pajak secara besar-besaran.
Pajak sebagaimana diketahui menjadi ciri utama kolonial dan diwariskan sampai sekarang di negara-negara yang menganut ideologi kapitalisme seperti negara welfare state.
Penerimaan pajak negara meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2019 penerimaan pajak sebesar Rp. 1.332,7 triliun meningkat menjadi Rp.1818,2 triliun pada tahun 2023 atau meningkat 36 persen.
Pemerintah bersama DPR menggenjot pajak pada segenap usaha yang dijalankan oleh masyarakat, ditambah berbagai pungutan yang yang bersifat memaksa lainnya untuk mengisi pundi-pundi APBN.
Dalam paradigma APBN saat ini, tampaknya pajak yang akan dibebankan kepada usaha-usaha masyarakat akan terus mengalami peningkatan di masa mendatang.
Namun sebagaimana diduga oleh banyak pengamat bahwa pajak yang dipungut ini tidak akan mencukupi kebutuhan belanja APBN.
Karena orientasi pajak yang lebih diarahkan pada usaha-usaha masyarakat, bukan kepada usaha-usaha yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam yang sangat besar sebagaimana disebutkan di atas.
Apa buktinya? Pemerimaan pajak terhadap produk domestik bruto terus menurun dan bahkan boleh dikatakan terjun bebas.
Sekarang penerimaan pajak terhadap PDB telah berada dibawah 10 persen tetapnya 9,2 persen terhadap PDB menurun dari 11,38 persen terhadap PDB pada tahun 2012 atau 12 tahun lalu.
Ini berarti aktifitas pengerukan SDA yang semakin besar sebagai kontributor utama terhadap GDP Indonesia tidak diikuti dengan penerimaan pajak oleh negara atas sumber daya alam tersebut.
Ketergantungan
Dengan mengambil logika lebih besar pasak dari pada tiang maka utang menjadi alat utama dalam meningkatkan kinerja APBN Indonesia selama beberapa dekade terakhir.
Utang meningkat dengan sangat pesar dalam lima tahun terakhir untuk mendongkrak pengeluaran negara.
Boleh dikatakan lima tahun terakhir adalah tahun-tahun menimbun utang dikarenakan banyak beban keuangan negara akibat covid 19 dan berbagai krisis yang dihadapi Indonesia.
Tahun 2019 pemerintah mengambil utang sebesar Rp. 437,5 triliun, tahun 2020 utang baru ditambah sebesar Rp. 1.229,6 triliun tiga kali tambahan normal akibat adanya covid 19.
Selanjutnya tahun 2021 utang baru bertambah Rp. 870,5 triliun, tahun 2022 pemerintah menambah utang Rp 696,0 triliun.
Tahun 2023 ditambah sebesar Rp. 406,4 triliun dan tahun 2024 ini pemerintah merencanakan menambah utang Rp 648,1 triliun.
Dengan demikian sepanjang enam tahun terakhir pemerintah menambah utang baru sebesar Rp. 4.288,1 triliun.
Nilai setara dengan semua utang yang pernah ditambah pemerintah sejak Indonesia berdiri.
Utang yang sangat besar menimbulkan konsekuensi lain yang juga sangat besar yakni bunga utang yang sangat menyedot APBN dan semakin mempersempit ruang fiscal Indonesia.
Tahun 2023 pemerintah membayar bunga utang sebesar Rp. 441,4 triliun dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2024 menjadi Rp. 497,3 triliun.
Pembayaran bunga ini telah melewati semua belanja penting dalam APBN termasuk belanja pegawai juga telah dilewatinya.
Arinya lebih besar ongkos utang dari pada gaji dan tunjangan semua pegawai pemerintahan.
Restorasi APBN
Secara kasat mata terlihat masalah utama dalam APBN Indonesia adalah hilangnya sumber pendapatan utama APBN yakni pendapatan atas sumber daya alam.
Padahal usaha paling utama yang dijalankan oleh pemerintah adalah usaha membuka investasi dalam rangka eksploitasi sumber daya alam yang kemudian sekarang akan dilanjutkan dengan hilirisiasi atau industrialisasi.
Sumber daya alam seharusnya menjadi perhatian utama dan ditetapkan kembali sebagai sumber pendapatan utama negara.
Usaha ini dapat dijalankan dengan menjadikan negara benar-benar berdaulat atas sumber daya alam tersebut.
Sumber daya alam penting dan strategis pengelolaannya harus berpijak kembali kepada pasal 33 UUD 1945.
Yakni sumber daya alam harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya dalam menopang pendapatan negara dan selanjutnya digunakan sepenuhnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Dengan penguasaan negara atas sumber daya alam yang penting dan strategis maka setiap dolar sumber daya alam yang terjual dalam perdagangan internasional harus dibagikan secara signifikan kepada negara sebagai ukuran utama bahwa negara berdaulat.
Jika usaha di bidang sumber daya alam belum dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maka hasilnya harus dibagi kepada negara secara imbang.
Sementara hasil penjualan sumber daya alam yang menjadi bagian usaha-usaha swasta, maka seluruh uang hasil usahanya dibidang sumber daya alam penting dan strategis tersebut harus ditempatkan.
Dalam institusi keuangan dalam negeri dan dikontrol pengelolaannya oleh negara bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Utang dan pajak dapat segera direstorasi karena merupakan penyimpangan terhadap semangat kemerdekaan, kedaulatan, kemandirian dan keadilan sosial.
Dengan membenahi secara menyeluruh sistem pengelolaan sumber daya alam baik berkaitan dengan investasi, perdagangan, keuangan dan jasa-jasa terkait agar sumber daya alam.
Sebagai penopang utama APBN dan perekonomian nasional dalam arti luas.
Patriotisme Prabowo Gibran dapat diadalkan bagi segenap usaha ideologisasi Kembali APBN Indonesia!.***