Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
HARIANINVESTOR.COM – Kurs rupiah tidak melemah. Tetapi kurs dolar AS yang menguat terhadap rupiah. Begitu kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Kurs dolar memang melonjak cukup tinggi. Tembus Rp16.302 per dolar AS pada 16 April 2024. Bahkan kurs spot sempat menyentuh Rp16.337 per dolar AS pada keesokan harinya.
Tentu saja BI tidak tinggal diam. Intervensi. Tapi, kurs dolar hanya turun sedikit. Masih bertahan di atas Rp16.200.
Baca Juga:
Berkat Pemberdayaan BRI, Kelompok Petani Jeruk di Curup Bengkulu Jangkau Pasar Lebih Luas
KPK Geledah Kantor Otoritas Jasa Keuangan Terkait Kasus Korupsi Penyaluran Dana CSR Bank Indonesia
Sambut Nataru, BRI Pastikan Kehandalan Super Apps BRImo dan Optimalkan Layanan 721 Ribu E-Channel
Jumat, 18/4/24, kurs dolar masih melanjutkan tren naik. Otoritas moneter masih berjuang keras intervensi, menjaga dolar agar jangan tembus Rp16.300.
Kurs dolar fluktuatif, itu hal biasa. Tapi, kalau tren naik terus, cukup bahaya.
Masalahnya, asumsi, atau prediksi, kurs dolar AS di APBN 2024 hanya Rp15.000. Nampaknya, prediksi Sri Mulyani ini salah besar. Pasti melenceng jauh.
Melenceng? Tidak juga. Bukkan melenceng. Tapi ini semua gara-gara Iran.
Baca Juga:
Shadenlouth Siap Hibur Pengunjung Cafe dan Tempat Nongkrong dengan Sajian Live Music
Investor akan Terus Mengawasi Respons Kebijakan Pemerintah: Siap Mendukung atau Siap Menghukum
Begitulah, pemerintah selalu mempunyai 1001 alasan untuk pembenaran. Kali ini, serangan Iran ke Israel menjadi kambing hitam.
Gara-gara Iran, kurs rupiah anjlok. Begitu respons beberapa menteri, kompak menuding serangan Iran membuat kurs rupiah loyo.
Padahal, kurs rupiah sudah merosot sejak awal tahun. Kurs rupiah pada awal Januari 2024 masih cukup ok, Rp15.390 per dolar AS.
Tetapi, kemudian merosot menjadi Rp16.215 pada 17 April 2024. Merosot 825 rupiah. Sangat signifikan.
Baca Juga:
Transaksi Tanpa Kartu Kini Lebih Mudah, BRI dan Artajasa Luncurkan Fitur Cardless Withdrawal
Artinya, alasan serangan Iran membuat rupiah loyo hanya ilusi.
Yang benar adalah, kurs rupiah merosot karena investor asing menarik uangnya keluar dari Indonesia.
Menunjukkan, perekonomian Indonesia secara umum kurang menarik.
Kalah dari Vietnam, yang mampu menarik Rp256 triliun investasi dari Apple Inc. Sedangkan Indonesia hanya mendapat Rp16 triliun.
Dalam tiga bulan, Januari-Maret 2024, dolar yang kabur ke luar negeri mencapai 6 miliar dolar AS. Hampir Rp100 triliun.
Hal ini dapat dilihat dari cadangan devisa yang merosot dari 146,4 miliar dolar AS pada akhir Desember 2023 menjadi 140,4 miliar dolar AS pada akhir Maret 2023.
Yang memprihatinkan, dollar outflow di bulan Maret 2024 sangat besar, mencapai 3,6 miliar dolar AS.
Nampaknya, dollar outflow masih terus berlanjut di bulan April ini. Makanya, kurs rupiah masih merosot terus.
Jadi, sekali lagi, serangan Iran ke Israel hanya ilusi.
Terus, kalau kurs rupiah merosot menjadi Rp16.000 atau Rp17.000 per dolar AS, memang kenapa?
Pasti kenapa-napa. Konsekuensinya cukup serius terhadap APBN dan ekonomi.
Pertama, beban bunga pinjaman utang luar negeri pemerintah pasti membengkak dari yang diperkirakan di dalam APBN 2024. Bisa membengkak lebih dari Rp15 triliun.
Kedua, beban subsidi akan melonjak, terutama subsidi BBM, listrik, elpiji, pupuk.
Ketiga, kenaikan kurs dolar membuat nilai utang luar negeri pemerintah (dan Bank Indonesia) dalam rupiah membengkak.
Dengan jumlah utang mencapai 210 miliar dolar AS per akhir tahun 2023, utang luar negeri pemerintah dalam rupiah akan bertambah Rp210 triliun.
Artinya, kalau kurs dolar bertahan di Rp16.300 sampai akhir tahun, utang pemerintah akan tembus Rp10.000 triliun pada akhir tahun ini.
Keempat, kurs dolar naik, inflasi meningkat, menekan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
Dampaknya, kalau intervensi Bank Indonesia tidak berhasil mengangkat kurs rupiah menguat.
Maka masyarakat harus siaga menghadapi suku bunga yang lebih tinggi, dan tentu saja menekan perekonomian nasional.
Dan bukan tidak mungkin pemerintah juga akan menaikkan harga energi (bbm, listrik, lgp), memangkas subsidi, dengan alasan “APBN akan jebol”.
Mungkin dikombinasikan dengan kenaikkan tarif pajak PPN lagi?.***