Oleh: Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina
HARIANINVESTOR.COM – Politik sebenarnya hanya citra (image), persepsi dan bukan yang sebenarnya atau bukan sebenar-benarnya.
Dalam politik praktis dan proses politik di lapangan, persepsi baik atau buruk, persepsi toleran atau radikal.
Atau persepsi apa saja bisa dibentuk dengan gampang dan dengan berbagai cara dan metode.
Baca Juga:
Daftar Lengkap Instansi yang Dinilai Kemenkeu Berprestasi di Bidang Pengelolaan Barang Milik Negara
Pertarungan politik Anies Baswedan dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) di Jakarta beberapa tahun lalu dalam peratarungan persepsi.
Yang menjadi kenyataan dalam sekejab tetapi kemudian lenyap dalam sekejab berikutnya.
Banyak pihak yang takut kemenangan Anies di Jakarta akan menjadi monster politik radikal, yang tidak akan toleran terhadap keberagaman.
Baca artikel lainnya di sini : Ini yang Dibahas Presiden Jokowi dan PM Singapura Lee Hsien Loong akan Bertemu dalam Leader’s Retreat
Baca Juga:
Melalui Pendampingan BRI, Sosok Ini Berhasil Memberdayakan Komunitas Perempuan di Lamongan Jatim
Kisah Prabowo Subianto Ditertawakan dan Diejek Saat Ingin Pemerintahan Bersih dan Korupsi Hilang
Pilgub Jakarta adalah pilgub paling brutal dan jangan diulangi lagi.
Citra dan persepsi itu hanya dalam beberapa tahun lenyap ketika Anies hadir dalam pilpres dengan partai pendukung dari partai-partai nasionalis.
Baca artikel lainnya di sini : KPK Ingatkan Dokter RSUD Sidoarjo Barat Saat Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Tak Penuhi Panggilan
Tim pemenangan di kanan kirinya juga datang dari kaum nasionalis, dengan latar belakang agama yang lengkap.
Dalam pilpres ini tidak ada lagi pertarungan citra radikal agama dan radikal sekuler, anti NKRI, dan rasisme.
Politik dan demokrasi yang terbuka seperti sekarang ini adalah pertanda baik.
Paling tidak dilihat dari sisi persepsi citra seperti ini – kecuali masalah etika dan nepotisme Jokowi.
Karena itu, gagasan politik menyatukan Anies dan Ahok di Jakarta adalah eksperimen yang baik dan berani.
Untuk membersihkan pencitraan politik menuju polarisasi radikal agama atau radikal sekuler.
Radikal sekuler di sini mirip-mirip radikal kiri yang anti agama.
Peluang Anies dan Ahok bersatu sangat mungkin karena beberapa faktor.
Pertama, Anies sejatinya seorang yang relegius tetapi tidak radikal seperti yang dipersepsikan ketika hadir dalam pilgub DKI dulu.
Kedua, Ahok memang temparamental, yang kadang-kadang tabu di dalam politik.
Namun, sesungguhnya Ahok adalah seorang yang nasionalis dilihat dari sejarah garis politiknya.
Ketiga, tidak ada lagi faktor pendorong keduanya ke arah radikal karena Anies sudah bisa tampil di dalam pilpres dengan citra nasionalis relegius biasa.
Keempat, Ahok juga akan bisa diterima publik.
Anies dan Ahok pasti berpikir positif jika paham gagasan seperti ini dari berbagai pihak yang hendal menjadikannya simbol kesatuan dari keduanya.
Anies masuk Jakarta mempunyai peluang menang sangat besar jika tidak kita katakan hampir 100 persen.
Anies punya prestasi di Jakarta, meskipun banyak kritik juga.
Jakarta Indah dan banyak hal diselesaikan, juga bagian dari prestasinya.
Dan Juga Anies semakin populer ketika menjadi capres.
Jika Anies tidak masuk politik dalam dalam 5 tahun ke depan maka namanya hilang dari peredaran.
Anies bukan pemimpin partai politik seperti Prabowo Subianto atau JK pada masanya.
Karena itu, masuk ke dalam politik di Jakarta adalah peluang yang baik tidak hanya bagi karir dirinya tetapi juga untuk bangsa untuk 2029 nanti.***
Sempatkan juga untuk membaca berbagai berita dan informasi lainnya di media online Adilmakmur.co.id dan Kalimantanraya.com
Sedangkan untuk publikasi press release di media online ini, atau pun serentak di puluhan media lainnya, dapat menghubungi Jasasiaranpers.com.
WhatsApp Center: 085315557788, 087815557788, 08111157788.
Pastikan juga download aplikasi portal berita Hallo.id di Playstore (android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik.