Oleh: Arif Perdana, (Monash University), Novi Quadrianto, Saru Arifin (Universitas Negeri Semarang)
JAKARTA – Sistem keuangan global di era modern kini semakin didorong oleh sentuhan kecerdasan buatan (AI) dan algoritma canggih.
Sistem berbasis algoritmik mengotomatisasi banyak aspek industri keuangan mulai dari proses pembayaran hingga penilaian kredit yang menjanjikan efisiensi dan inklusivitas yang lebih besar.
Namun, di balik keunggulannya, algoritma ini juga menghadirkan tantangan, seperti potensi bias data dan dampak struktural yang dapat memengaruhi stabilitas moneter.
Baca Juga:
Semakin Ramah Pengguna, Super App BRImo Kini Tersedia dalam Dua Bahasa
Dukungan BRI Antar Usaha Lokal Perhiasan Batu Alam Jangkau Pasar Internasional
Diakui Internasional, Layanan Wealth Management BRI Raih Penghargaan Internasional dari Euromoney
Dalam konteks Indonesia, di saat digitalisasi sektor keuangan kian berkembang pesat, peran Bank Indonesia (BI) makin fundamental dalam mengawasi dan mengatur sistem keuangan berbasis teknologi ini.
Penelitian terbaru dari tim kami mengusulkan kerangka kerja Governance, Ethics, Legal, and Social Implications (GELSI) untuk membantu BI mengelola tantangan yang ditimbulkan oleh algoritma dalam sektor keuangan.
Kerangka ini tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis dan regulasi, tetapi juga faktor etis dan sosial yang sering kali diabaikan dalam diskusi seputar AI di dunia keuangan.
Menggunakan pendekatan Multiple Streams Approach (MSA), penelitian kami memberikan perspektif baru dalam merancang kebijakan berbasis algoritma yang selaras dengan kebutuhan stabilitas moneter dan inovasi teknologi.
Baca Juga:
Jokowi Sebut Polemik Ijazahnya di Universitas Gadjah Mada Termasuk Pencemaran Nama Baik
Pefindo Catatkan Penerbitan Surat Utang Korporasi pada Januari – Maret 2025 Mencapai Rp46,7 Triliun
MSA adalah teori kebijakan yang menjelaskan bagaimana keputusan dibuat di tengah ketidakpastian.
MSA membagi proses kebijakan menjadi tiga aliran: masalah (isu yang butuh perhatian), solusi (ide yang diajukan), dan politik (kesempatan untuk bertindak).
Kebijakan terjadi saat ketiganya bertemu dalam “jendela kebijakan.”
Sebagai bagian dari studi ini, para peneliti melakukan penelitian kualitatif berbasis wawancara mendalam dengan 18 ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk akademisi yang memiliki spesialisasi dalam hukum, teknologi informasi (TI), dan data science, serta praktisi dari sektor keuangan, perbankan, dan teknologi finansial (fintech).
Baca Juga:
Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji Tahun 2025, BRI Proaktif Dalam Pelayanan Haji
Para responden ini dipilih berdasarkan pengalaman mereka dalam memahami dan mengimplementasikan sistem berbasis algoritma di sektor keuangan Indonesia.
Pendekatan Interpretive Phenomenological Analysis (IPA) digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana para ahli ini menavigasi aspek tata kelola, etika, hukum, dan dampak sosial dari sistem algoritmik dalam regulasi keuangan.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot kepentingan dari masing-masing dimensi dalam kerangka kerja GELSI.
Dengan membandingkan berbagai elemen risiko dan regulasi dalam sistem keuangan berbasis algoritma, AHP memungkinkan analisis yang lebih terstruktur dalam memahami prioritas kebijakan yang harus diambil BI.
Konsistensi rasio yang dihasilkan dari perhitungan AHP menunjukkan bahwa data yang dikumpulkan memiliki tingkat koherensi tinggi, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan yang kuat dalam perumusan kebijakan.
Mencegah bias algoritmik dalam pengambilan keputusan
Salah satu temuan utama dari penelitian ini adalah potensi risiko besar dari bias algoritmik dalam keputusan keuangan. K
arena algoritma dilatih menggunakan data historis, ada kemungkinan besar bahwa pola diskriminatif yang ada dalam data masa lalu akan terulang dalam keputusan keuangan masa kini.
Dalam perkreditan, misalnya, jika data historis menunjukkan bahwa kelompok tertentu memiliki akses kredit yang lebih rendah, algoritma dapat memperkuat diskriminasi ini dengan menolak permohonan kredit dari individu dalam kelompok tersebut.
Temuan ini diperkuat dengan wawasan dari para praktisi perbankan yang menyatakan bahwa sistem skor kredit otomatis sering kali gagal menangkap nuansa kontekstual dari calon peminjam, yang mengakibatkan eksklusi finansial terhadap kelompok tertentu.
Di sisi lain, penelitian ini juga menemukan bahwa penggunaan algoritma dalam pengelolaan risiko keuangan menghadirkan tantangan baru dalam hal transparansi dan akuntabilitas.
Banyak sistem berbasis kecerdasan buatan beroperasi dengan pendekatan “black box” yang keputusannya dibuat tanpa ada pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam konteks regulasi, hal ini menimbulkan dilema bagi BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena sulit untuk menentukan apakah sebuah keputusan keuangan telah dibuat secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan bahwa BI harus mewajibkan institusi keuangan meningkatkan transparansi dalam pengembangan dan penerapan algoritma, termasuk dengan menyediakan mekanisme audit algoritmik yang dapat diakses oleh regulator.
Mencegah krisis keuangan
Akumulasi keputusan salah akibat bias algoritmik bisa memantik guncangan stabilitas keuangan secara makro.
Sejarah telah menunjukkan bahwa sistem otomatis dapat memperburuk krisis keuangan, seperti yang terjadi pada flash crash di pasar saham akibat algoritmik perdagangan (trading algorithms).
Jika sistem yang mengelola transaksi atau kebijakan moneter BI bergantung pada model yang tidak teruji dengan baik, konsekuensinya bisa sangat berbahaya bagi stabilitas rupiah dan perekonomian nasional.
Oleh karena itu, BI perlu mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif dalam pengujian ketahanan model AI yang digunakan di sektor keuangan, serta menerapkan standar yang lebih ketat untuk memastikan bahwa model ini tidak rentan terhadap guncangan ekonomi.
Selain itu, keamanan siber juga menjadi salah satu perhatian utama dalam studi ini.
Meningkatnya ketergantungan pada sistem berbasis AI membuka celah bagi serangan siber yang semakin kompleks.
Jika sistem pembayaran atau pemantauan transaksi BI diretas atau dimanipulasi oleh aktor jahat, dampaknya bisa jauh lebih besar daripada sekadar pencurian data individu—ini bisa mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional.
Oleh karena itu, BI harus memanfaatkan Regulatory Technology (RegTech) dan Supervisory Technology (SupTech) untuk memperkuat pengawasan mereka terhadap industri keuangan digital.
Dengan teknologi ini, BI dapat memantau pola transaksi dalam skala besar secara real-time, mendeteksi anomali, serta memastikan bahwa sistem AI yang digunakan oleh bank dan fintech beroperasi sesuai regulasi.
Masa depan regulasi keuangan berbasis algoritma
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam perumusan kebijakan keuangan berbasis AI. Regulasi tidak boleh hanya menjadi urusan BI seorang diri. Perlu ada kerja sama erat antara BI, OJK, akademisi, pelaku industri, serta masyarakat sipil dalam merancang kebijakan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Studi ini menekankan bahwa pendekatan MSA dapat membantu dalam mengidentifikasi titik temu antara masalah, kebijakan, dan faktor politik untuk menghasilkan regulasi yang lebih efektif.
Dengan menghubungkan permasalahan yang ada dengan solusi kebijakan yang dapat diterima secara politis, BI dapat lebih proaktif dalam mencegah risiko-risiko struktural yang ditimbulkan oleh algoritma dalam sektor keuangan.
Dalam dunia keuangan berbasis algoritma, ketidakpastian bukanlah alasan untuk tidak bertindak.
BI harus mengambil langkah progresif dalam mengatur dan mengawasi penggunaan algoritma di sektor keuangan sebelum kita menghadapi risiko yang tidak terkendali.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi contoh dalam regulasi keuangan berbasis AI yang adil dan transparan.
Namun, tanpa tindakan yang tepat, teknologi yang seharusnya meningkatkan efisiensi dan inklusivitas justru bakal menjadi sumber ketimpangan baru.
Jika BI dan pemangku kepentingan lainnya tidak segera mengantisipasi tantangan ini, kita bukan hanya menghadapi risiko kegagalan sistem, tetapi juga kehilangan kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan.
Seperti yang disampaikan oleh salah satu responden dalam penelitian ini: “Kita tidak bisa mengelola apa yang tidak kita pahami. Saatnya Bank Indonesia memahami, mengawasi, dan bertindak!”***
Artikel ini direpublikasi dari The Conversation dalam artikel berjudul: Algoritma moneter negara: Bagaimana Bank Indonesia harus memitigasi risikonya?.*
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Bisnispost.com dan Ekbisindonesia.com
Simak juga berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media Apakabartv.com dan Pusatsiaranpers.com
Informasi nasional dari pers daerah dapat dimonitor langsumg dari portal berita Sulawesiraya.com dan Harianjayakarta.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di puluhan media lainnya, klik Persrilis.com atau Rilispers.com (150an media).
Untuk harga paket yang lebih hemat klik Rilisbisnis.com (khusus media ekbis) dan Jasasiaranpers.com (media nasional).
Untuk informasi, hubungi WhatsApp Center Pusat Siaran Pers Indonesia (PSPI): 085315557788, 08557777888, 087815557788, 08111157788.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.
Sumber Berita : Theconversation.com